Saatnya Melirik Eropa

Saatnya Melirik Eropa
Bagikan:

Perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China telah membawa perubahan besar dalam tata niaga global. Ketika badai tarif impor dari Amerika Serikat menerpa, membuat Indonesia harus pandai dan cermat dalam menyikapinya. Jika salah langkah, maka akan mengancam berbagai capaian yang sudah diraih selama ini.

Strategi diversifikasi pasar ekspor menjadi pilihan pemerintah dan Uni Eropa (UE) menjadi alternatif prioritas, selain negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). Hal ini dilakukan , guna menjaga kestabilan neraca perdagangan.

Jika menilik ke belakang,selama beberapa dekade terakhir, Uni Eropa dan Indonesia telah berhasil memperkuat dan memperluas kerjasama yang ditopang oleh tujuan bersama dan kepentingan bersama. Sebagai anggota G20, kedua negara bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mengatasi masalah keuangan, sosial ekonomi, dan pembangunan global. Sejak 2014, Uni Eropa dan Indonesia meningkatkan hubungan bilateral dengan memberlakukannya Perjanjian Kerjasama Kemitraan, antara lain untuk mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif, mempromosikan tata pemerintahan yang baik, melindungi lingkungan, melawan dampak perubahan iklim, mendukung masyarakat sipil dan mempromosikan pendidikan dasar.

Baca Juga :  Prospek The Fed Jadi Fokus Pekan Depan di Tengah Reli Wall Street

Secara statistik, UE menyumbang 13% dari perdagangan dunia. UE memiliki potensi pasar sekitar Rp 16,6 triliun, terutama untuk produk makanan dan minuman serta tekstil.Sementara berdasarkan data ekspor Maret 2025 yang dilansir BPS, pangsa pasar ekspor Indonesia ke UE—yang meliputi 27 negara— tercatat hanya 7,94% (US$ 1,73 miliar). Pangsa pasar ekspor Indonesia ke UE ini kalah dari ekspor ke China yang sebesar 23,84% (US$ 5,20 miliar), ke Asean 19,08% (US$ 4,16 miliar), ke AS 12,06% (2,63%), dan ke India 6,47% (US$ 1,41 miliar).

Salah satu langkah konkret untuk merealisasikan hal itu adalah penyelesaian perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), yang disebut pemerintah tinggal menyisakan satu isu terkait transparansi. Bahkan rencananya, pada pekan depan, Senin (5/5/2025), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan bertemu dengan Komisioner Perdagangan Uni Eropa (UE) Maros Sefcovic secara daring untuk membahas kesimpulan akhir dari pertemuan yang telah berlangsung 19 putaran sejak 2017.

Baca Juga :  Tokenisasi Treasuri AS Tumbuh Pesat, Tambah $210 Juta Lagi!

Gayung bersambung, UE pun menjajaki penguatan hubungan dagang dengan Indonesia, dan beberapa negara lain di Asia untuk merespons pemberlakuan tarif impor oleh AS. Memang tak dipungkiri tarif impor AS saat ini berdampak pada produk ekspor EU senilai 380 miliar euro (sekitar Rp6.584 triliun), atau sekitar 70% dari total nilai ekspor, dengan besaran tarif 20–25%. Meski UE tetap terbuka dan lebih memilih negosiasi dengan AS, tetapi sampai kemajuan itu terlihat, EU menjalankan tiga strategi, yang salah satunya adalah memperkuat perdagangan dengan kawasan lain, termasuk Indonesia.

Itu artinya, kedua negara ini saling membutuhkan satu dengan lainnya, untuk bersama-sama mengatasi problem bersama, yakni kebijakan tarif Amerika. Dalam bernegosiasi dengan UE pun, hendaknya pemerintah tetap mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, tanpa tekanan dan tentunya harus menguntungkan.

Baca Juga :  Market Brief: Dow Jones Melonjak 400 Poin