NEW YORK, investor.id – Reputasi dolar Amerika Serikat (AS) di mata para investor tengah terancam, karena kepercayaan mulai terkikis, dan sifatnya sebagai safe haven selama lebih dari setengah abad bisa lenyap. Ekonom menyandingkan fenomena ini dengan kejatuhan Pound Inggris pada.
Associated Press (AP) menggambarkan bahwa di antara ancaman tarif terhadap ekonomi AS, tidak ada yang lebih aneh daripada aksi jual dolar. Padahal, nilai tukar mata uang naik dan turun sepanjang waktu karena kekhawatiran inflasi, pergerakan bank sentral, dan faktor-faktor lainnya.
Bedanya saat ini, para ekonom khawatir bahwa penurunan dolar AS beberapa waktu belakangan lebih dramatis. Penurunan dolar AS mencerminkan sesuatu yang lebih buruk saat Presiden AS Donald Trump mencoba mengubah sistem perdagangan global. Para ekonom merujuk pada benang merah ‘hilangnya kepercayaan terhadap AS’.
“Kepercayaan dan ketergantungan global terhadap dolar telah dibangun selama setengah abad atau lebih. Namun, kepercayaan dan ketergantungan itu dapat hilang dalam sekejap mata,” ungkap Ekonom Universitas California, Berkeley, Barry Eichengreen, seperti dilansir dari AP pada Jumat (18/4/2025).
Dolar AS telah mendominasi dunia. Sebagian besar barang dunia ditransaksikan dalam dolar. Permintaan terhadap Dolar AS tetap kuat meskipun AS telah melipatgandakan utang federal selama belasan tahun dan melakukan hal-hal lain yang biasanya akan membuat investor kabur. Hal tersebut memungkinkan pemerintah, konsumen, dan bisnis AS untuk meminjam dengan suku bunga yang sangat rendah, yang telah membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar hidup di AS.
Dominasi dolar juga memungkinkan AS untuk menekan negara lain seperti Venezuela, Iran, dan Rusia dengan mengunci mereka dari mata uang yang perlu mereka beli dan jual dengan negara lain. Tapi kini, ‘hak istimewa yang berlebihan’ itu tiba-tiba terancam.
“Sifat safe haven dolar sedang terkikis,” kata Deutsch Bank dalam sebuah catatan kepada klien awal bulan ini yang memperingatkan adanya krisis kepercayaan.
Sementara Capital Economics dalam laporannya menyebut, “Tidak lagi berlebihan untuk mengatakan bahwa status cadangan dolar dan peran dominannya yang lebih luas setidaknya agak dipertanyakan.”
Teori ekonomi tradisional memandang, Dolar AS akan menguat karena tarif menurunkan permintaan produk impor. Namun bukan cuma gagal menguat, Dolar AS belakangan telah jatuh. Sejak medio Januari, dolar telah jatuh 9% terhadap sejumlah mata uang. Ini adalah penurunan yang langka dan tajam, mencerminkan pelemahan ke level terendah dalam tiga tahun. Dolar AS melemah lebih dari 5% terhadap Euro dan Pound, dan 6% terhadap Yen sejak awal April.

Ini tentu membingungkan ekonom dan merugikan para konsumen AS. Setiap pelancong AS di luar negeri tahu betul bahwa mereka dapat membeli lebih banyak karena penguatan dolar, serta membeli lebih sedikit karena pelemahan dolar.
Sekarang, harga anggur dari Prancis, barang elektronik dari Korea Selatan, serta sejumlah barang impor lainnya bisa jadi lebih mahal bukan hanya karena tarif tetapi juga karena mata uang yang lebih lemah. Hilangnya status Dolar AS sebagai tempat berlindung yang aman alias safe haven secara nyata memberi dampak pada konsumen AS.
Di samping terkereknya harga barang-barang impor, para konsumen AS akan merasakan suku bunga lebih tinggi untuk pinjaman hipotek maupun kendaraan. Bagi pemerintah AS, lebih mengawatirkan adalah kemungkinan kenaikan suku bunga pada utang federal AS yang sudah mencapai 120% dari output ekonomi tahunan AS.
“Sebagian besar negara dengan utang terhadap PDB sebesar itu akan menyebabkan krisis besar dan satu-satunya alasan kita bisa lolos adalah karena dunia membutuhkan dolar untuk berdagang,” ujar Benn Steil, ekonom di Council on Foreign Relations.
China dan Kejatuhan Pound
Benn Steil bahkan khawatir pada titik tertentu orang akan mempertimbagkan alternatif Dolar AS secara serius. Kenyataannya, aksi dedolarisasi itu memang telah berlangsung, bahkan terbilang gencar oleh ekonomi pesaing AS yaitu China.
Selama bertahun-tahun, China melalui Yuan telah membuat kesepakatan perdagangan dengan Brasil, Rusia, dan Korea Selatan. Yuan juga dipakai China untuk memberikan pinjaman kepada bank-bank sentral sangat membutuhkan uang tunai seperti di Argentina, Pakistan, dan negara-negara lain.
Namun demikian, tidak semua yakin bahwa faktor kepercayaan telah membuat Dolar AS melemah. Ekonom di Mizuho Financial, Steve Ricchiuto menilai bahwa pelemahan dolar belakangan ini karena antisipasi inflasi yang lebih tinggi karena tarif. Investor tetap menggenggam dolar, meskipun kurang merasa nyaman. Sebab, tidak ada mata uang atau aset lain yang cukup besar menerima permintaan, baik itu Yuan, Bitcoin, bahkan emas.
“AS akan kehilangan mata uang cadangannya jika ada pihak yang ingin mengambilnya. Saat ini tidak ada alternatif lain,” imbuh Ricchiuto.
Pendekatan tarif Trump ramai-ramai dipertanyakan penerapannya, terutama mengenai penerapannya yang tidak menentu. Ketidakpastian yang tercipta membuat AS terlihat kurang stabil, kurang dapat diandalkan, dan kurang aman sebagai tujuan untuk menyimpan uang.
Tarif yang diumumkan Trump pada 2 April 2025 mengingatkan para ekonom kritis pada Krisis Suez tahun 1956 yang menghancurkan Pound Inggris. Serangan militer terhadap Mesir direncanakan dan dilaksanakan dengan buruk, mengungkap ketidakmampuan politik Inggris yang selanjutnya menenggelamkan kepercayaan terhadap negara tersebut.
Pound pun jatuh tajam, posisinya selama berabad-abad sebagai mata uang perdagangan dan cadangan yang dominan pun runtuh. Eichengreen dari Berkeley mengatakan Hari Pembebasan yang disebut-sebut Trump dalam pidatonya saat menaikan tarif, dapat dikenang sebagai titik balik serupa jika ia tidak berhati-hati.
“Ini adalah langkah pertama menuju jurang yang licin di mana kepercayaan internasional terhadap dolar AS hilang,” tandas Eichengreen.