JAKARTA, investor.id – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati membeberkan potensi perubahan tatanan perdagangan global karena perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China. Dia menyebut, situasi saat ini juga membuka pintu terjadinya stagflasi yang akan memukul negara-negara berkembang seperti tahun 1970-an dan mungkin bisa lebih suram tanpa upaya antisipasi yang berarti.
Sri Mulyani menjelaskan, perubahan tatanan global dipengaruhi kebijakan tarif resiprokal AS kepada banyak negara, sebagai langkah mengoreksi defisit negara perdagangannya. Merespons itu, China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua memilih untuk melawan AS.
“Kalau kita lihat ini berarti kita sebagai negara besar di Asean dan di G20, Indonesia juga harus waspada dan repositioning,” ungkap Sri Mulyani pada Rabu (30/4/2025).
Ia mengatakan, bahwa persaingan dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut akan menimbulkan dampak yang luas. Dampaknya tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung. Perang dagang AS-China akan menggema ke seluruh bagian dunia, yang pada gilirannya mengubah sistem perdagangan global.
“Dampaknya akan mengalami reverberasi, tidak hanya dampak langsung, namun dampak yang lebih fundamental adalah sistem global akan mengalami perubahan. Dan belum tahu arahnya akan seperti apa,” ujar Menkeu.
Situasi ‘abu-abu’ saat ini ditandai oleh unilateralisme dan bilateralisme, bahkan negosiasi kelompok pun belum disepakati. Sri Mulyani menyebut situasi ini sebagai suatu yang meresahkan ( unsettling), membuat terjadi ketidakpastian global hingga aliran modal ke aset-aset safe haven termasuk emas.

Sejumlah pertanda itu semakin dekat dengan risiko stagflasi, dimana pertumbuhan ekonomi rendah dan inflasi tinggi berpadu. Dia merujuk pada fenomena pada tahun 1970-an. Sebagai pengingat, saat itu terjadi lonjakan harga minyak oleh OPEC yang menyebabkan inflasi menanjak, kebijakan moneter yang salah, hingga tensi tinggi persaingan global.
“Kombinasi dari lemahnya ekonomi dan inflasi tinggi itu namanya stagflasi. Itu terjadi di tahun ‘70an dan itu tidak cukup baik dari sisi dampaknya ke negara-negara, terutama negara-negara emerging,” ungka Sri Mulyani.
Rivalitas Ekonomi, Politik, dan Keamanan
Menghadapi ketidakpastian global, Sri Mulyani menekankan pentingnya jaring pengaman keuangan (financial safety net). Ini adalah suatu sistem atau lembaga-lembaga yang hadir untuk melindungi stabilitas sistem keuangan. Konsep financial safety net dipercaya dapat meredam dampak dari suatu krisis.
Menurut dia, penting untuk merancang kebijakan financial safety net di tiga lapisan yaitu nasional, regional, dan global. Tingkat nasional, ia mendorong peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Indonesia. Layer kedua adalah regional, seperti inisiatif Chiang Mai di ASEAN+3 (Jepang, Korea, Tiongkok). Sementara tingkat ketiga adalah peran International Monetary Fund (IMF) sebagai global safety net.
Khusus di dalam negeri, Sri Mulyani menyoroti pentingnya reformasi ekonomi di dalam negeri. Reformasi yang dimaksud itu baik terkait dengan inefisiensi, inkompetensi, hingga deregulasi—menghilangkan beban-beban ekonomi tinggi melalui regulasi yang rumit maupun prosedur yang tidak mudah.
Di sisi lain, Sri Mulyani juga menyampaikan keprihatinannya terhadap negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, yang menghadapi kerentanan ekonomi pascapandemi. “Negara-negara ini sangat rentan, ada yang kehilangan akses kapital dan bahkan dengan Amerika menyetop berbagai bantuan globalnya, terjadi potensi kelaparan,” ujarnya.
Ia mendorong peran Multilateral Development Banks seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) untuk memperkuat dukungan kepada negara-negara tersebut. Apalagi, kata Sri Mulyani, rivalitas AS dan RRT akan terus menjadi faktor dominan dalam stabilitas global.
“Rivalitas ini tidak hanya di bidang ekonomi, ada di bidang politik, ada di bidang security. Jadi kita tidak bisa lagi juga memisahkan ekonomi dari geopolitik dan security yang akan mewarnai bagaimana arah dunia ke depan,” pungkas Menkeu Sri Mulyani.