JAKARTA, investor.id – Fluktuasi harga saham PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dalam setahun terakhir relatif masih cukup kencang. Sempat berkibar dengan penguatan sebanyak 20% ke level 168, saham emiten baja nasional tersebut kembali menghadapi pil pahit, terefleksi dari kinerja saham yang terkoreksi 15,71% ke posisi 118 dalam setahun terakhir.
Bahkan, jika membandingkan harga saham KRAS pada saat IPO yang dibanderol 850 per saham pada November 2010 dengan harga saham KRAS di posisi 119 per saham pada perdagangan hari ini, Senin (21/4/2025), maka penurunan harga saham perseroan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir mencapai 86%. Lantas, apa yang berpotensi mengungkit performa saham KRAS?
Hijau-merahnya kinerja saham sebuah emiten umumnya mencerminkan kondisi fundamental perusahaan dalam jangka panjang. Khusus kasus KRAS, di atas kertas performanya memang tidak baik-baik saja. Laporan keuangan terakhir yang dirilis pada September 2024 menunjukkan, pendapatan perusahaan drop dari US$ 1,2 miliar menjadi US$ 657 juta.
Atau dengan kata lain, KRAS mengalami penurunan pendapatan sebesar 48% pada kuartal III tahun lalu. Akibatnya, rugi perseroan kian membengkak dari US$ 61,4 juta menjadi US$ 185 juta. Dari sisi neraca, total ekuitas KRAS juga menyusut dari US$ 496 juta menjadi US$ 323 juta.
Sebaliknya, total liabilitas naik menjadi US$ 2,4 miliar dibandingkan sebelumnya US$ 2,3 miliar, sehingga total aset KRAS terkoreksi sebesar 3,3% menjadi US$ 2,7 miliar pada September 2024 ketimbang periode sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 2,8 miliar.
Menurut Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Bakhrul Fikri, berdasarkan laporan keuangan KRAS sejak 2018-2023, nilai total penjualan KRAS baik secara domestik maupun ekspor turun drastis. Pada 2022, total nilai penjualan domestik dan ekspor mencapai US$ 2,23 miliar. Namun, pada 2023 turun menjadi US$ 1,45 miliar, alias sama seperti total nilai sales pada 2019.
Bakhrul melihat, menurunnya kinerja KRAS utamanya disebabkan oleh force majeur di fasilitas #HSM 1. Itulah sebabnya, produksi perseroan mengalami penurunan dari 1,88 juta ton baja pada 2022, menjadi 834 ribu ton baja pada 2023. Belum lagi, total debt perseroan yang masih tergolong tinggi.
Peluang Bangkit
Peluang kebangkitan KRAS, kata Bakhrul, akan muncul dari booming-nya tren green steel di pasar global. Bahkan, perusahaan otomotif skala raksasa di dunia berani investasi besar-besaran untuk membangun fasilitas yang dapat memproduksi baja hijau.
“Ini bisa menjadi peluang bagi KRAS untuk melakukan market shifting. Di sisi lain, negara-negara mitra dagang terutama Eropa juga sudah memberlakukan CBAM (carbon border adjustment mechanism). Artinya, mereka akan lebih ketat mengimpor barang-barang yang memiliki jejak karbon tinggi. Perseroan seharusnya bisa mengambil peluang tersebut untuk mendiversifikasi produk bajanya ke green steel,” jelas Bakhrul kepada Investor Daily dikutip, Senin (21/4/2025).
Pasalnya, tren green steel di pasar global meningkat cukup drastis. Bakhrul menyebut, pangsa pasar baja ramah lingkungan secara global diperkirakan meningkat dari US$ 2,70 miliar pada 2023 menjadi US$ 98,84 miliar pada 2030 dengan CAGR sebesar 67,2% selama periode 2023-2030.
Perusahaan baja kelas dunia seperti ArcelorMIttal berani berinvestasi hingga US$ 120 juta ke Boston Metal. Menurut Bakhrul, KRAS bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk menarik minat investor guna membantu pembangunan kawasan industri Krakatau (KIK). Asalkan, perseroan berkomitmen melakukan shifting ke green steel dengan membuat peta jalan dekarbonisasi baja.
“Misalnya, KIK dibangun dengan teknologi yang tidak menggunakan pembangkit listrik tenaga uap. Melainkan, menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan. Kemudian, fasilitas pembuatan bajanya menggunakan teknologi green hydrogen dan perseroan bisa menjadi yang pertama di Asean sebagai pengguna teknologi green hydrogen,” beber dia.
Di dalam negeri ini, Gunung Raja Paksi (GRP) sudah melakukannya lebih dulu dengan berinvestasi hingga US$ 60 juta atau setara Rp 924 miliar untuk dekarbonisasi baja dari teknologi blast furnace yang berbasis batu bara dengan tinggi emisi, menuju electric arc furnace yang rendah emisi dan listriknya berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan.
Target harga
Analis Infovesta Utama, Ekky Topan, secara teknikal melihat, terdapat momentum kenaikan yang muncul bagi saham KRAS terutama dipicu oleh isu terkait peran Danantara sebagai liquidity provider. “Namun, saya berpendapat momentum tersebut didorong oleh sentimen semata. Tanpa adanya perbaikan fundamental yang nyata, sehingga kenaikan harga saham KRAS kemungkinan besar hanya bersifat sementara,” tutur Ekky kepada Investor Daily.
Karena itu, dia memproyeksikan harga saham KRAS akan berada di kisaran Rp 130 per saham, dengan stop loss ditempatkan di bawah Rp 108 sebagai batas penurunan.