Cryptoharian – Pada 3 April, imbal hasil obligasi pemerintah Amerika jangka panjang turun ke level terendah dalam enam bulan terakhir. Melansir dari cointelegraph.com, penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap resiko perang dagang global dan pelemahan nilai tukar dolar AS.
Imbal hasil obligasi 10 tahun sempat menyentuh angka 4,0 persen, turun dari 4,4 persen hanya sepekan sebelumnya.
Tarif Impor dan Dampak pada Inflasi
Kebijakan tarif impor Amerika yang baru turut memperburuk kondisi. Selain menggerus keuntungan perusahaan, tarif ini memaksa banyak bisnis melakukan deleveraging, yang pada akhirnya menurunkan likuiditas pasar.
Situasi ini memicu peningkatan averasi resiko, sesuatu yang dalam jangka pendek biasanya berdampak negatif pada Bitcoin, terutama karena korelasi eratnya dengan indeks S&P 500.
Menurut, Axel Merk, Chief Investment Officer di Merk Investments, tarif menciptakan apa yang disebut sebagai ‘supply shock’, yakni gangguan pasokan barang dan jasa akibat kenaikan harga. Jika kondisi ini terjadi bersamaan dengan penurunan suku bunga, tekanan inflasi bisa meningkat.
Dalam kondisi seperti itu, daya tarik obligasi melemah. Bahkan jika investor tidak melihat Bitcoin sebagai lindung nilai terhadap inflasi, minat terhadap aset pendapatan tetap bisa turun drastis. Jika hanya 5 persen dari pasar obligasi global, senilai US$ 140 triliun berpindah ke aset lain, itu berarti ada potensi aliran dana sebesar US$ 7 triliun ke saham, komoditas, properti, emas dan tentu saja Bitcoin.
Baca Juga: Kenapa Harga Bitcoin dan Kripto Turun Drastis Hari Ini (3/4)?
Melemahnya Dolar Amerika Untungkan Aset Alternatif
Sementara itu, emas melonjak dan mencetak kapitalisasi pasar sebesar US$ 21 triliun setelah mencetak rekor harga baru secara beruntun. Harga yang lebih tinggi membuat tambang yang sebelumnya tidak menguntungkan kembali beroperasi, memicu investasi lebih lanjut di sektor eksplorasi dan produksi. Namun, pertumbuhan suplai ini juga menjadi pembatas tren naik jangka panjang emas.
Di sisi lain, indeks DXY, yang mengukur kekuatan dolar terhadap mata uang asing, turun ke angka 102, level terendah dalam enam bulan. Melemahnya dolar bisa mendorong negara-negara lain untuk mulai mencari alternatif cadangan nilai, termasuk Bitcoin.
Peralihan ini tentu tidak terjadi dalam semalam. Tapi perang dagang bisa mendorong perlahan pergeseran dari dominasi dolar, terutama oleh negara-negara yang merasa tertekan dengan sistem saat ini. Walaupun belum ada yang memperkirakan kembalinya standar emas atau Bitcoin jadi cadangan devisa utama, setiap gerakan menjauh dari dolar memperkuat posisi Bitcoins sebagai aset alternatif.
Sebagai gambaran, Jepang, China, Hong Kong, dan Singapura saat ini memegang total US$ 2,63 triliun dalam bentuk obligasi pemerintah AS. Jika negara-negara ini merespons dengan menjual obligasi tersebut, tren penurunan imbal hasil bisa berbalik.
Ini akan membuat biaya utang AS meningkat dan melemahkan dolar lebih jauh, situasi yang bisa membuat investor semakin menjauhi saham dan memilih aset langka seperti Bitcoin.