JAKARTA, investor.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa likuiditas perbankan mulai mengetat namun masih cukup memadai untuk menopang pertumbuhan kredit ke depan. Kondisi likuiditas perbankan ke setelah bank sentral kembali menurunkan suku bunga acuan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menyampaikan, pertumbuhan DPK pada kuartal I-2025 masih cukup baik, dimana secara year to date (ytd) masih dapat tumbuh 1,96%. DPK akan tumbuh sejalan ketersediaan likuiditas global maupun domestik, utamanya dipengaruhi laju penurunan suku bunga global.
Dia bilang, ketidakpastian global telah memengaruhi keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga pada FOMC Bulan Mei. Namun demikian, OJK memandang bahwa suku bunga acuan dalam tren penurunan di masa mendatang, sehingga turut serta akan mendorong sisi pendanaan sektor perbankan.
“Kita melihat suku bunga yang masih akan menurun pada masa yang akan datang, akan mendorong pendanaan dan menopang peningkatan likuiditas perbankan,” ungkap Dian dalam konferensi pers, dikutip pada Minggu (11/5/2025).
Dari sisi perbankan, OJK meminta senantiasa mengantisipasi risiko pengetatan likuiditas. Dalam hal ini, OJK meminta perbankan untuk menjaga ketersediaan alat likuid, salah satunya dengan mewajibkan bank untuk menyampaikan kondisi likuiditas secara rutin dan memonitor likuiditas bank secara intens.
“Selain itu, kami juga meminta bank melakukan uji ketahanan atau stress test untuk mengukur ketersediaan likuiditas secara forward looking, untuk melengkapi stress test yang dilakukan OJK terhadap bank umum,” ujar Dian.
Hingga Maret 2025, DPK tumbuh sebesar 4,75% year on year (yoy) menjadi Rp 9.010 triliun. Tren ini didorong beberapa faktor seperti realisasi anggaran pemerintah, kebutuhan perusahaan membayar THR dan dividen, serta minat konsumsi masyarakat.
“Selanjutnya volatilitas pasar keuangan yang cukup tinggi serta kondisi ekonomi global yang belum stabil membuat masyarakat, terutama perseorangan cenderung konservatif dan memilih untuk menyimpan dana maupun berinvestasi pada instrumen yang berisiko rendah seperti emas dan SBN,” tandas Dian.