Harga Minyak Longsor hingga 7% Akibat Tarif Baru dari China

Harga Minyak Longsor hingga 7% Akibat Tarif Baru dari China
Bagikan:

HOUSTON, investor.id – Harga minyak dunia longsor hingga 7% pada Jumat (4/4/2025), menyentuh level terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Penurunan ini dipicu oleh keputusan China yang akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 34% terhadap seluruh barang asal Amerika Serikat (AS) mulai 10 April mendatang.

Dikutip dari Reuters, langkah tersebut memperburuk ketegangan dalam perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia. China, sebagai importir minyak terbesar di dunia, mengambil tindakan balasan setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif ke tingkat tertinggi dalam lebih dari satu abad. Ketegangan ini membuat investor khawatir akan meningkatnya risiko resesi global.

Selain minyak mentah, harga komoditas lain seperti gas alam, kedelai, dan emas juga merosot tajam. Pasar saham global ikut terguncang. JPMorgan, bank investasi ternama, kini memperkirakan kemungkinan resesi global pada akhir tahun meningkat menjadi 60%, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 40%.

Baca Juga :  Harga Emas Antam (ANTM) dan Galeri 24 di Pegadaian Naik, tapi UBS Berbeda

Harga minyak Brent, yang menjadi acuan global, ditutup melemah US$ 4,56 (6,5%) ke level US$ 65,58 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari AS jatuh US$ 4,96 (7,4%) menjadi US$ 61,99 per barel.

Dalam sesi perdagangan, Brent sempat menyentuh US$ 64,03 dan WTI jatuh ke US$ 60,45, posisi terendah dalam empat tahun terakhir. Sepanjang pekan ini, Brent tercatat turun 10,9%, menjadi penurunan mingguan terbesar dalam 1,5 tahun. WTI bahkan mengalami penurunan mingguan terbesar dalam dua tahun terakhir, yakni 10,6%.

Analis energi dari United ICAP Scott Shelton mengatakan, harga minyak saat ini sudah mendekati nilai wajar, namun belum mencerminkan dampak nyata dari penurunan permintaan. “Kemungkinan besar, harga WTI akan turun ke kisaran pertengahan hingga tinggi US$ 50 dalam waktu dekat,” ujarnya.

Baca Juga :  Konflik Timur Tengah Kian Mendidih, Bagaimana Kondisi Emas?

Sementara itu, Ketua The Fed Jerome Powell mengungkapkan, tarif baru dari Trump lebih besar dari yang diperkirakan. Ia memperingatkan, dampaknya bisa mencakup inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, yang dapat mempersulit kebijakan moneter ke depan.

Keputusan OPEC+

Tekanan terhadap harga minyak juga datang dari keputusan OPEC+ yang mempercepat rencana peningkatan produksi. Kelompok produsen ini sepakat untuk menambah pasokan 411 ribu barel per hari (bph) pada Mei, jauh lebih besar dari rencana awal sebesar 135 ribu bph.

Selain itu, keputusan pengadilan Rusia yang membatalkan rencana penangguhan fasilitas ekspor Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) di Laut Hitam turut menekan harga. Hal ini berpotensi mencegah penurunan produksi minyak Kazakhstan.

Meskipun impor minyak, gas, dan produk olahan dibebaskan dari tarif baru AS, kebijakan tersebut tetap berpotensi meningkatkan inflasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk ketegangan dagang, semua faktor yang membebani harga minyak.

Baca Juga :  Nasib Harga Emas Selanjutnya

Goldman Sachs memangkas proyeksi harga minyak Brent dan WTI untuk Desember 2025 masing-masing sebesar US$ 5 menjadi US$ 66 dan US$ 62 per barel. “Risiko terhadap proyeksi harga minyak kami cenderung ke bawah, terutama untuk 2026, seiring meningkatnya risiko resesi dan potensi pasokan tambahan dari OPEC+,” ujar Kepala Riset Minyak Goldman Sachs Daan Struyven.

Bank HSBC juga merevisi turun proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global 2025, dari 1 juta bph menjadi 0,9 juta bph, dengan alasan dampak tarif dan keputusan OPEC+.